Pulau, Makam, dan Kota Lengang
Pulau,
Makam, dan Kota Lengang
(2110722033_Rendy Bragi_Catatan Perjalanan)
Terbangun
di pagi hari, pukul 7 adalah rutinitas setiap hari selama diriku duduk di
bangku perkuliahan pada semester 1. Ritualku pagi ini adalah meluikkan badan
dan menguap layaknya kucing yang berbaring di atas ranjang. Aku merasakannya.
Ya. Tulang-belulangku berbunyi “kretekk” secara bersamaan. Suara itu menjadi
simfoni yang indah dalam hidupku.
Aku
bergegas membuka laptopku. Karena, jadwal perkuliahan hari ini dimulai pagi-pagi
buta sekali. Yaitu pukul 7.30. Tanpa mandi, basuh muka, dan gosok gigi, layar
laptopku dan materi dari dosenku menembak wajahku yang sekarang posisi nyawanya
setengah sedang duduk tertib, sementara satu lagi masih bersemayam alam imaji.
Handphone
yang ada di samping laptop dan di atas meja belajarku berdering karena ada
nomor yang tak kukenal sok asik menyapaku “ppppppp”. Sopan santun sepertinya
sudah hilang. Apa salahnya memberikan salam atau sapaan sekadar formalitas terlebih
dahulu. Setelah kubaca, ternyata ia adalah teman sekelasku yang bernama Joe.
Tak
ada angin tak ada hujan, tak ada hujan tak ada ojek, becek becek, ia mengajakku
pergi ke sebuah tempat yang bernama Angso Duo. Angso Duo berjarak lumayan dari
tempatku yang terdengar lengang. Sekitar 30 menit jika mengendarai motor, dan
sekitar 100 liter air mineral akan habis jika berjalan kaki karena letihnya.
Aku sudah bosan sekali ke sana. Pungutan liar (pungli) yang membuat diriku
benci ke sini. Yang awalnya sebagai pelepas penat, kalau ke sini juga sebagai
pelepas pitih lanjo.
Tanpa
berpikir panjang, aku meng-iyakan ajakannya untuk memenuhi hasrat duniawi.
Hitung-hitung memanjakan retina mataku. Karena sebentar lagi ia akan rusak
karena kerjaku hanya melihat laptop saja. Joe mengajakku hari ini. Walaupun
jarak dari kostannya ke rumahku sekitar 54km, ia tetap menyela motor bebeknya
dan berangkat ke sini. Sudah gila dia, pikirku. Ku kira dia hanya bergurau.
Ternyata, satu jam berlalu, kepala dan batang hidungnya sudah nongol di depan
pagar rumah. Anak ini memang sudah gila. Kapan iya berkehendak, di situ
hendaknya harus terkabul.
Aku
mengajaknya duduk dahulu, membakar rokok, menyeruput secangkir kopi, memulihkan
tenaga, sebelum melanjutkan perjalanan kami. Ternyata, ia sangat tinggi sekali.
Selama ini yang kulihat di kelas tatap maya adalah orang-orang pendek semuanya.
Tapi aku salah. Aku terlalu cepat menyimpulkan sesuatu.
Selepas
adzan Dzuhur berkumandang, kami bersiap-siap menuju Angso Duo. Rute yang kami
ambil yaitu Kota Pariaman. Lengang sekali kota ini. Seperti kota hantu. Padahal
ini hari Sabtu. Ke mana semua orang pergi?. Apakah aku sudah masuk di dimensi
yang lain?. Tidak, panganaku terlalu
jauh.
Tak
terasa, aku telah sampai di gerbang Pantai Gandoriah. Pantai yang selalu ramai,
baik siang atau malam, entah weekend ataupun
weekdays. Gerbang masuk pantai ini
mirip sekali dengan gerbang jalan tol. Pria bertopi hitam dan mengenakan rompi
DISHUB yang aku tidak tau ia dapat darimana, selalu bertugas di sini.
Benarkan kataku, uangku selalu terkuras ketika pergi ke
sini. Mulai dari uang masuk, pedagang yang memaksa, bahkan sampai untuk tempat
buat duduk saja harus memesan terlebih dahulu agar bisa duduk. Dengan sedikit
rasa kesal, aku harus merelakan selembar kertas berwarna hijau yang ada di
dalam dompetku.
Kuhisap sebatang rokok Surya yang kubeli sekalian dengan minuman sebagai syarat duduk di
sini. “Kau pernah nyebrang ke sana?” Tanya Joe Spontan. Dengan cepat ku
menjawab “Selalu, ketika bersama keluargaku pasti ke sana” jariku sambil menunjuk
pulau yang ada di seberang Gandoriah.
Tiba-tiba, seorang bapak mengenakan kaos oblong datang
menghampiri kami berdua. “Mau duduk di sini saja atau mau sekalian nyebrang ke
pulau, dek?” Tuturnya. Joe dengan semangatnya bertanya “berapa harga untuk sekali
jalan ke sana, pak? Tanya Joe cepat. “Rp. 40.000” Jawab bapak itu langsung.
Dengan segenap tenaga, Joe merogoh sakunya lalu memberikan uang berwarna biru
ke pada bapak itu langsung. Entah aku senang atau sedih. Di satu sisi, aku
ditraktir pergi ke sana. Di sisi lain, aku malas sekali berhadapan dengan orang
yang energik, energinya tak habis-habis.
Singkat cerita, kapal penyeberangan kami pun tiba. Kami
terpaksa melepas sepatu karena kapal-kapal itu berhenti di dekat bibir pantai.
Kami diberi pelampung agar kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, masih
bisa diselamatkan. Naik kapal seperti ini dengan ombak yang lumayan ngeri
membuat isi perutku bergoyang. Ya, aku sedikit mabuk laut.
Akhirnya,
aku tiba di pulau Angso Duo. Plank namanya sebesar gaban terpampang di jembatan
masuk pulau ini. Aku dan Joe mulai mengitari pulau ini. Kesalahan terbesar kami
pada saat pergi ke sini adalah tidak membawa pakaian lebih atau pakaian untuk
berenang. Sangat disayangkan apabila tidak berenang di sini. Pulau yang indah
di tengah laut dengan pasir putih dan air jernih, sangat memanjakan retina
mataku.
Selepas
penat berenang, tak sengaja kami berjalan sampai ke tengah pulau. Mataku
terkaget pada sebuah bangunan yang awalnya aku tak tau itu apa dan untuk apa
bangunan itu ada di tengah pulau ini. Semakin aku mendekat, bentuk bangunan itu
seperi familier di mataku. Itu adalah makam. Anehnya, panjang sekali makan yang
satu ini. Sekitar 4meter lebih. Bulu kudukku berdiri gemetaran. Aku menyuruh
Joe agar pergi saja dari sini. Dan ternyata, ia semakin penasaran dan mendekat
ke makam itu. Seperinya, aku memilih partner
yang salah.
Asumsiku
tentang makam ini, mungkin cekung mengerucut ke dalam. Semakin dalam, maka
semakin sempit. Di sana aku juga tak melihat siapa yang bersemayam di dalamnya.
Di samping makan itu juga ada sumur tua sepertinya. Mungkin itu sumber air
bersih selain filtrasi air laut.
Aku
sudah sering ke sini. Tapi, aku baru pertama kali bersama Joe mengeksplor
sampai ke dalam. Ku ucapkan terima kasih ke pada Joe karena mental dan
keberaniannya, aku bisa melihat fenomena seperti ini.
Ku
rasa, kami telah mengitari semua bagian pulau ini. Buktinya, aku menjumpai kayu
yang aku tancapkan sebelum kami mengitari tempat ini. Masih berdiri kokoh
seperti idealis sastrawan yang padahal ia telah tau bahwa tidak bisa hidup
dengan puisi-puisinya, tapi masih saja meneruskan pekerjaan itu.
Pukul
16.00 kami diperintahkan untuk bergegas kembali ke pantai. Setelah menaiki
kapal, aku bertanya ke pada nakhoda kapal ini. “Kenapa jam segini sudah harus
balik, pak?” tanyaku padanya. “Kabut gelap sudah menyelimuti pulau” jawabanya.
Ia juga bercerita bahwa dahulu pernah terjadi badai yang ganas menyerang pulau
itu, Kapal dan pengunjung pulau tidak bisa kembali karena gelombang dan ombak
yang besar disertai hujan yang deras serta gemuruh petir yang menghambat
perjalanan. Akhirnya, mereka semua bermalam di pulau tersebut, lalu keesokan
paginya mereka kembali ke pantai.
Sesampainya
di pantai, aku membeli beberapa cenderamata yang di jual di sekitaran pantai.
Dua buah gelang berwarna hitam dengan harga Rp.10.000. Kemdian aku juga membeli
air mineral berukuran 1l dengan harga Rp. 15.000. Lebih mahal harga minuman
daripada gelang yang kupilih. Aku sudah terbiasa dengan hal itu di sini. Aku
dan Joe bergegas pulang ke rumahku karena seluruh badanku sudah berubah menjadi
bau matahari.
Komentar
Posting Komentar